Esensi Manusia Menurut SÖREN KIERKEGAARD
Eksistensialisme secara etimologi
yakni berasal dari kata eksistensi, dari bahasa latin existere yang berarti
muncul, ada, timbul, memilih keberadaan aktual. Adapun eksistensialisme sendiri
adalah gerakan filsafat yang menentang esensialisme, pusat perhatiannya adalah
situasi manusia.
Eksistensialisme
merupakan paham yang sangat
berpengaruh di abad modern, paham ini akan menyadarkan pentingnya kesadaran
diri. Dimana manusia disadarkan atas keberadaannya di bumi ini. Pandangan yang
menyatakan bahwa eksistensi bukanlah objek dari berpikir abstrak atau
pengalaman kognitif (akal pikiran), tetapi merupakan eksistensi atau pengalaman
langsung yang bersifat pribadi dan dalam batin individu. Beberapa ciri dalam
eksistensialisme, diantaranya:
a. Motif pokok yakni cara manusia
berada, hanya manusialah yang bereksistensi. Dimana eksistensi adalah cara khas
manusia berada, dan pusat perhatian ada pada manusia, karena itu berisfat
humanistic.
b. Bereksistensi harus diartikan
secara dinamis. Bereksistensi berarti menciptakan dirinya secara aktif.
Bereksistensi berarti berbuat, menjadi, merencanakan. Setiap saat manusia
menjadi lebih atau kurang dari keadaaannya.
c. Didalam filsafat
eksistensialisme manusia dipandang sebagai terbuka. Manusia adalah realitas yang belum selesai,
yang masih harus dibentuk. Pada hakikatnya manusia terikat pada dunia
sekitarnya, terlebih-lebih pada sesama manusia.
d. Filsafat eksistensialisme
memberi tekanan pada pengalaman konkret, pengalaman eksistensial.
Soren Kierkegaard adalah seorang
tokoh eksistensialisme yang pertama kali memeperkenalkan istilah “eksistensi”
pertama di abad ke-20, Kirkegaard memiliki pandangan bahwa seluruh realitas
eksistensi hanya dapat dialami secara subjek oleh manusia, dan mengandaikan
bahwa kebenaran adalah individu yang bereksistensi. Kirkegaard juga memiliki
pemikiran bahwa eksistensi manusia bukanlah statis namun senantiasa menjadi.
Artinya manusia selalu bergerak dari kemungkinan untuk menjadi suatu kenyataan.
Melalui proses tersebut manusia memperoleh kebebasan untuk mengembangkan suatu
keinginan yang manusia miliki sendiri. Karena eksistensi manusia terjadi karena
adanya kebebasan, dan sebaliknya kebebasan muncul karena tindakan yang
dilakukan manusia tersebut.
Menurut Kirkegaard eksistensi
adalah suatu keputusan yang berani diambil oleh manusia untuk menentukan
hidupnya, dan menerima konsekuensi yang telah manusia ambil. Jika manusia tidak
berani untuk melakukannya maka manusia tidak bereksistensi dengan sebenarnya. Tiap
eksistensi memiliki cirinya yang khas. Kierkegaard telah mengklasifikasikan
menjadi 3 tahap. Yakni tahap estetis (the aesthetic stage), etis (the ethical
stage), dan religious (the religious stage). Seperti dalam beberapa karyanya:
The Diary af a Seducer, Either/Or, In Vino Veritas, Fear and Trrem Beling, dan
Guilty-Not Guilty, yang sebenarnya merupakan refleksi hidup pribadinya.
A. Tahap Estetis (The Aesthetic Stage)
Tahap ini merupakan situasi
keputusasaan sebagai situai batas dari eksistensi yang merupakan ciri khas
tahap tersebut. Adapun dalam tahap estetis yakni terdapat:
a. Pengalaman emosi dan sensual
memiliki ruang yang terbuka
Dalam pembahasan ini, Kierkegaard menerangkan
adanya dua kapasitas dalam hidup ini, yakni sebagai manusia sensual yang
merujuk pada inderawi dan makhluk rohani yang merujuk pada manusia yang sadar secara
rasio. Pada tahap ini cenderung pada wilyah inderawi. Jadi, kesenangan yang
akan dikejar berupa kesenangan inderawi yang hanya didapat dalam kenikmatan
segera. Sehingga akan berbahaya jika manusia akan diperbudak oleh kesenangan
nafsu, dimana kesenangan yang diperoleh dengan cara instan. Terdapat perbuatan
radikal dari tahap ini adalah adanya kecenderungan untuk menolak moral
universal. Hal ini dilakukan karena kaidah moral dinilai dalam mengurangi untuk
memperoleh kenikmatan inderawi yang didapat. Sehingga dalam tahap ini tidak ada
pertimbangan baik dan buruk, yang ada adalah kepuasaan dan frustasi, nikmat dan
sakit, senang dan susah, ekstasi dan putus asa.
Kierkegaard telah memaparkan
bahwa manusia estetis memiliki jiwa dan pola hidup berdasarkan
keinginan-keinginan pribadinya, naluriah dan perasaannya yang mana tidak mau
dibatasi. Sehingga manusia estetis memiliki sifat yang sangat egois dalam
mementingkan dirinya sendiri. Jadi dapat dikatakan bahwa manusia dalam tahap
estetis pada dasarnya tidak memiliki ketenangan. Hal ini dikarenakan manusia
ketika sudah memperoleh satu hasil yang di inginkannya ia akan berusaha
mencapai yang lainnya untuk memenuhi kebutuhan inderawinya. Ia juga akan mengalami
kekurangan dan kekosongan dalam kehidupannya, sehingga manusia yang seperti ini
tidak dapat menemukan harapannya. Adapun manusia dapat kleluar dari zona ini
yakni dengan mencapai tahap keputusasaan. Dimana Ketika manusia estetis mencari
kepuasan secara terus menerus dan tidak kunjung menemukannnya, maka diposisi seperti
itulah manusia dapat berputus asa (despair).
B. Tahap Etis (The Ethical Stage)
Tahap etis merupakan lanjutan
dari tahap estetis, tahap ini lebih tinggi dari tahap sebelumnya yang hanya
berakhir dengan keputusasaan dan kekecewaan. Melainkan tahap etis ini dianggap
lebih menjanjikan untuk memperoleh kehidupan yang menenangkan. Adapun
keterangan lebih lanjut yaknia. Kaidah-kaidah moral menjadi hal yang
dipertimbangkan Dalam tahap etis, individu telah memperhatikan aturan-aturan universal
yang harus diperhatikan. Dimana individu telah sadar memiliki kehidupan dengan
orang lain dan memiliki sebuah aturan. Sehingga dalam suatu kehidupan akan
mempertimbangkan adanya nilai baik atau buruk. Pada tahap inilah manusia tidak
lagi membiarkan kehidupannya terlena dalam kesenangan inderawi. Manusia secara
sadar diri menerima dengan kemauannya sendiri pada suatu aturan tertentu. Bahkan pada tahap etis manusia melihat norma
sebagai suatu hal yang dibutuhkan dalam kehidupannya. Manusia telah berusaha
untuk mencapai asas-asas moral universal. Namun, manusia etis masih terkungkung
dalam dirinya sendiri, karena dia masih bersikap imanen, artinya mengandalkan kekuatan
rasionya belaka.5 Dimana orang etis benar-benar menginginkan adanya aturan
karena aturan membimbing dan mengarahkannya, terutama ketika hidup dalam
kebersamaan. Sehingga dalam kondisi ini terdapat kebebasan individu yang
dipertanggungjawabkan. Adapun aturan dan
norma merupakan wujud kongkret untuk memberikan pencerahan dalam suatu
problematika. Sehingga Manusia akan menjadi saling menghargai dan tidak arogan
dengan manusia yang lain. Mereka pada akhirnya dapat hidup dalam tatanan
masyarakat yang baik.
C. Tahap Religious (The Religious
Stage)
Eksistensi pada tahap religious
merupakan tahapan yang paling tinggi dalam pandangan Kerkegaard. Adapun
keterangan selanjutnya dapat dilihat dibawah ini:
a. Keputusasaan
sebagai cara cepat menuju kepercayaan
Keputusasaan
merupakan tahap menuju permulaan yang sesungguhnya, dan bukan menjadi final
dalam kehidupan. Sehingga keputusasaan dijadikan sebagai tahap awal menuju
eksistensi religious yang sebenarnya. Dimana tahap ini tidak lagi menggeluti
hal-hal yang konkrit melainkan langsung menembus inti yang paling dalam dari manusia,6
yaitu pengakuan individu akan Tuhan sebagai realitas yang Absolut dan
kesadarannya sebagai pendosa yang membutuhkan pengampunan dari Tuhan.
Pada dasarnya
keputusasaan telah dianggap sebagai sebuah penderitaan yang mendalam dialami
oleh individu. Hal ini dapat terjadi jika keputusasaan dilakukan tanpa adanya
kesadaran atau sadar namun tidak memiliki respon yang positif atau kehendak dan
aksi untuk membenarkan, sehingga akan menyudutkan manusia pada jurang kehancuran.
Kesadaran untuk membenarkan yang dimaksud adalah kemauan dari diri individu
untuk sadar akan kekurangannya dan menyerahkan diri pada tuhan. Dimana individu
mengakui bahwa ada realitas tuhan yang sebagai pedoman. Dengan demikian,
individu jikamengalami problematika dalam hidupnya tidak akan mudah tergoyah. Adapun
individu mengalami problem ia akan berpegang dengan tali yang sangat kuat yakni
dengan keyakinan. Adapun pada tahap ini individu membuat komitmen personal dan
melakukan apa yang disebutnya “lompatan iman”. Lompatan ini bersifat
non-rasional dan biasa kita sebut pertobatan. Sehingga manusia dalam
menyerahkan diri kepada tuhan tidak memiliki syarat tertentu, melainkan dengan
kesadaran menyadari realitas yang ada. Manusia tidak merasa dalam keadaan
terbelenggu. Tahap religious merupakan hasil dari kristalisasi perjalan hidup,
yang akan melahirkan sikap bijaksana dalam individu. Seseorang yang mendapat konklusi
dari dalam dirinya atau secara bahasa lain pengalaman pribadi akan lebih
menyentuh pada ranah terdalam dalam diri manusia. Yang mana dalam perjalannya
terdapat penyerahan, sehingga untuk memperoleh jalan terakhir untuk memperoleh
ketenangan hidup hanyalah dengan menyatu dengan tuhan. Sehingga manusia dalam
menyerahkan diri kepada tuhan dituntut untuk menyerahkan diri secara terbuka
tanpa ada rasa setengah hati. Individu disini memiliki keyakinan bahwa tuhan
dapat menghapus penderitaan dan keputusasaan yang dialami manusia. Maka dari
itu, Kierkegaard memberi istilah pada situasi ini sebagai loncatan kepercayaan.
Kierkegaard disini menjelaskan bahwa satu-satunya jalan untuk sampaipada tuhan
yakni dengan kepercayaan atau iman. Sehingga manusia disini tidak mempunyai
suatu formula yang objektif dan rasional, melainkan semua berjalan berdasarkan
subjektifitas individu yang diperoleh hanya dengan iman.
Sumber : 1. Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), 185
2. F. Budi Hardiman, Filsafat Modern Dari Machiavelli Sampai Nietzsche, (Jakarta: Gramedia, 2007), 251
3. Hidya Tjaya, Kierkegaard dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri, (Jakarta: Gramedia, 2004), 89.
4. F. Budi Hardiman, Filsafat Modern Dari Machiavelli Sampai Nietzsche, 253.
5. Save M Dagun, Filsafat Eksistensialisme, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), 52.
6. F. Budi Hardiman, Filsafat Modern Dari Machiavelli Sampai Nietzsche, 253.