Friday, July 7, 2017

Tugas Online 6 Filsafat Manusia

Esensi Manusia Menurut SÖREN KIERKEGAARD

Eksistensialisme secara etimologi yakni berasal dari kata eksistensi, dari bahasa latin existere yang berarti muncul, ada, timbul, memilih keberadaan aktual. Adapun eksistensialisme sendiri adalah gerakan filsafat yang menentang esensialisme, pusat perhatiannya adalah situasi manusia.
Eksistensialisme
merupakan paham yang sangat berpengaruh di abad modern, paham ini akan menyadarkan pentingnya kesadaran diri. Dimana manusia disadarkan atas keberadaannya di bumi ini. Pandangan yang menyatakan bahwa eksistensi bukanlah objek dari berpikir abstrak atau pengalaman kognitif (akal pikiran), tetapi merupakan eksistensi atau pengalaman langsung yang bersifat pribadi dan dalam batin individu. Beberapa ciri dalam eksistensialisme, diantaranya:
a. Motif pokok yakni cara manusia berada, hanya manusialah yang bereksistensi. Dimana eksistensi adalah cara khas manusia berada, dan pusat perhatian ada pada manusia, karena itu berisfat humanistic.
b. Bereksistensi harus diartikan secara dinamis. Bereksistensi berarti menciptakan dirinya secara aktif. Bereksistensi berarti berbuat, menjadi, merencanakan. Setiap saat manusia menjadi lebih atau kurang dari keadaaannya.
c. Didalam filsafat eksistensialisme manusia dipandang sebagai terbuka.  Manusia adalah realitas yang belum selesai, yang masih harus dibentuk. Pada hakikatnya manusia terikat pada dunia sekitarnya, terlebih-lebih pada sesama manusia.
d. Filsafat eksistensialisme memberi tekanan pada pengalaman konkret, pengalaman eksistensial.
Soren Kierkegaard adalah seorang tokoh eksistensialisme yang pertama kali memeperkenalkan istilah “eksistensi” pertama di abad ke-20, Kirkegaard memiliki pandangan bahwa seluruh realitas eksistensi hanya dapat dialami secara subjek oleh manusia, dan mengandaikan bahwa kebenaran adalah individu yang bereksistensi. Kirkegaard juga memiliki pemikiran bahwa eksistensi manusia bukanlah statis namun senantiasa menjadi. Artinya manusia selalu bergerak dari kemungkinan untuk menjadi suatu kenyataan. Melalui proses tersebut manusia memperoleh kebebasan untuk mengembangkan suatu keinginan yang manusia miliki sendiri. Karena eksistensi manusia terjadi karena adanya kebebasan, dan sebaliknya kebebasan muncul karena tindakan yang dilakukan manusia tersebut.
Menurut Kirkegaard eksistensi adalah suatu keputusan yang berani diambil oleh manusia untuk menentukan hidupnya, dan menerima konsekuensi yang telah manusia ambil. Jika manusia tidak berani untuk melakukannya maka manusia tidak bereksistensi dengan sebenarnya. Tiap eksistensi memiliki cirinya yang khas. Kierkegaard telah mengklasifikasikan menjadi 3 tahap. Yakni tahap estetis (the aesthetic stage), etis (the ethical stage), dan religious (the religious stage). Seperti dalam beberapa karyanya: The Diary af a Seducer, Either/Or, In Vino Veritas, Fear and Trrem Beling, dan Guilty-Not Guilty, yang sebenarnya merupakan refleksi hidup pribadinya.

 A. Tahap Estetis (The Aesthetic Stage)
Tahap ini merupakan situasi keputusasaan sebagai situai batas dari eksistensi yang merupakan ciri khas tahap tersebut. Adapun dalam tahap estetis yakni terdapat:
a. Pengalaman emosi dan sensual memiliki ruang yang terbuka
Dalam pembahasan ini, Kierkegaard menerangkan adanya dua kapasitas dalam hidup ini, yakni sebagai manusia sensual yang merujuk pada inderawi dan makhluk rohani yang merujuk pada manusia yang sadar secara rasio. Pada tahap ini cenderung pada wilyah inderawi. Jadi, kesenangan yang akan dikejar berupa kesenangan inderawi yang hanya didapat dalam kenikmatan segera. Sehingga akan berbahaya jika manusia akan diperbudak oleh kesenangan nafsu, dimana kesenangan yang diperoleh dengan cara instan. Terdapat perbuatan radikal dari tahap ini adalah adanya kecenderungan untuk menolak moral universal. Hal ini dilakukan karena kaidah moral dinilai dalam mengurangi untuk memperoleh kenikmatan inderawi yang didapat. Sehingga dalam tahap ini tidak ada pertimbangan baik dan buruk, yang ada adalah kepuasaan dan frustasi, nikmat dan sakit, senang dan susah, ekstasi dan putus asa.
Kierkegaard telah memaparkan bahwa manusia estetis memiliki jiwa dan pola hidup berdasarkan keinginan-keinginan pribadinya, naluriah dan perasaannya yang mana tidak mau dibatasi. Sehingga manusia estetis memiliki sifat yang sangat egois dalam mementingkan dirinya sendiri. Jadi dapat dikatakan bahwa manusia dalam tahap estetis pada dasarnya tidak memiliki ketenangan. Hal ini dikarenakan manusia ketika sudah memperoleh satu hasil yang di inginkannya ia akan berusaha mencapai yang lainnya untuk memenuhi kebutuhan inderawinya. Ia juga akan mengalami kekurangan dan kekosongan dalam kehidupannya, sehingga manusia yang seperti ini tidak dapat menemukan harapannya. Adapun manusia dapat kleluar dari zona ini yakni dengan mencapai tahap keputusasaan. Dimana Ketika manusia estetis mencari kepuasan secara terus menerus dan tidak kunjung menemukannnya, maka diposisi seperti itulah manusia dapat berputus asa (despair). 
 B. Tahap Etis (The Ethical Stage)
Tahap etis merupakan lanjutan dari tahap estetis, tahap ini lebih tinggi dari tahap sebelumnya yang hanya berakhir dengan keputusasaan dan kekecewaan. Melainkan tahap etis ini dianggap lebih menjanjikan untuk memperoleh kehidupan yang menenangkan. Adapun keterangan lebih lanjut yaknia. Kaidah-kaidah moral menjadi hal yang dipertimbangkan Dalam tahap etis, individu telah memperhatikan aturan-aturan universal yang harus diperhatikan. Dimana individu telah sadar memiliki kehidupan dengan orang lain dan memiliki sebuah aturan. Sehingga dalam suatu kehidupan akan mempertimbangkan adanya nilai baik atau buruk. Pada tahap inilah manusia tidak lagi membiarkan kehidupannya terlena dalam kesenangan inderawi. Manusia secara sadar diri menerima dengan kemauannya sendiri pada suatu aturan tertentu.   Bahkan pada tahap etis manusia melihat norma sebagai suatu hal yang dibutuhkan dalam kehidupannya. Manusia telah berusaha untuk mencapai asas-asas moral universal. Namun, manusia etis masih terkungkung dalam dirinya sendiri, karena dia masih bersikap imanen, artinya mengandalkan kekuatan rasionya belaka.5 Dimana orang etis benar-benar menginginkan adanya aturan karena aturan membimbing dan mengarahkannya, terutama ketika hidup dalam kebersamaan. Sehingga dalam kondisi ini terdapat kebebasan individu yang dipertanggungjawabkan.  Adapun aturan dan norma merupakan wujud kongkret untuk memberikan pencerahan dalam suatu problematika. Sehingga Manusia akan menjadi saling menghargai dan tidak arogan dengan manusia yang lain. Mereka pada akhirnya dapat hidup dalam tatanan masyarakat yang baik.    
C. Tahap Religious (The Religious Stage)
Eksistensi pada tahap religious merupakan tahapan yang paling tinggi dalam pandangan Kerkegaard. Adapun keterangan selanjutnya dapat dilihat dibawah ini:
a.       Keputusasaan sebagai cara cepat menuju kepercayaan
Keputusasaan merupakan tahap menuju permulaan yang sesungguhnya, dan bukan menjadi final dalam kehidupan. Sehingga keputusasaan dijadikan sebagai tahap awal menuju eksistensi religious yang sebenarnya. Dimana tahap ini tidak lagi menggeluti hal-hal yang konkrit melainkan langsung menembus inti yang paling dalam dari manusia,6 yaitu pengakuan individu akan Tuhan sebagai realitas yang Absolut dan kesadarannya sebagai pendosa yang membutuhkan pengampunan dari Tuhan.
Pada dasarnya keputusasaan telah dianggap sebagai sebuah penderitaan yang mendalam dialami oleh individu. Hal ini dapat terjadi jika keputusasaan dilakukan tanpa adanya kesadaran atau sadar namun tidak memiliki respon yang positif atau kehendak dan aksi untuk membenarkan, sehingga akan menyudutkan manusia pada jurang kehancuran. Kesadaran untuk membenarkan yang dimaksud adalah kemauan dari diri individu untuk sadar akan kekurangannya dan menyerahkan diri pada tuhan. Dimana individu mengakui bahwa ada realitas tuhan yang sebagai pedoman. Dengan demikian, individu jikamengalami problematika dalam hidupnya tidak akan mudah tergoyah. Adapun individu mengalami problem ia akan berpegang dengan tali yang sangat kuat yakni dengan keyakinan. Adapun pada tahap ini individu membuat komitmen personal dan melakukan apa yang disebutnya “lompatan iman”. Lompatan ini bersifat non-rasional dan biasa kita sebut pertobatan. Sehingga manusia dalam menyerahkan diri kepada tuhan tidak memiliki syarat tertentu, melainkan dengan kesadaran menyadari realitas yang ada. Manusia tidak merasa dalam keadaan terbelenggu. Tahap religious merupakan hasil dari kristalisasi perjalan hidup, yang akan melahirkan sikap bijaksana dalam individu. Seseorang yang mendapat konklusi dari dalam dirinya atau secara bahasa lain pengalaman pribadi akan lebih menyentuh pada ranah terdalam dalam diri manusia. Yang mana dalam perjalannya terdapat penyerahan, sehingga untuk memperoleh jalan terakhir untuk memperoleh ketenangan hidup hanyalah dengan menyatu dengan tuhan. Sehingga manusia dalam menyerahkan diri kepada tuhan dituntut untuk menyerahkan diri secara terbuka tanpa ada rasa setengah hati. Individu disini memiliki keyakinan bahwa tuhan dapat menghapus penderitaan dan keputusasaan yang dialami manusia. Maka dari itu, Kierkegaard memberi istilah pada situasi ini sebagai loncatan kepercayaan. Kierkegaard disini menjelaskan bahwa satu-satunya jalan untuk sampaipada tuhan yakni dengan kepercayaan atau iman. Sehingga manusia disini tidak mempunyai suatu formula yang objektif dan rasional, melainkan semua berjalan berdasarkan subjektifitas individu yang diperoleh hanya dengan iman.
Sumber :
1. Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), 185
2. F. Budi Hardiman, Filsafat Modern Dari Machiavelli Sampai Nietzsche, (Jakarta: Gramedia, 2007), 251
3. Hidya Tjaya, Kierkegaard dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri, (Jakarta: Gramedia, 2004), 89.
4. F. Budi Hardiman, Filsafat Modern Dari Machiavelli Sampai Nietzsche, 253.
5. Save M Dagun, Filsafat Eksistensialisme, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), 52.
6. F. Budi Hardiman, Filsafat Modern Dari Machiavelli Sampai Nietzsche, 253.